Cara Pemerintah Menangani Kasus ACT Dikritik

Cara Pemerintah Menangani Kasus ACT Dikritik

JAKARTA - Pakar komunikasi dari Universitas Sahid Jakarta, Dr Algooth Putranto mengatakan bahwa isu aliran dana teroris dari Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) sudah ada sejak 2018. 

Namun, hingga kini narasi yang dimunculkan masih sebatas dugaan. Dia menilai data yang dimiliki Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) belum cukup valid. "Ini menjadi pertanyaan kritis, mengapa sekarang kembali muncul di saat ACT sedang bermasalah," kata Algooth Putranto dalam keterangannya kepada media, Sabtu (9/7). 

Oleh karena itu, dia meminta publik bijaksana dalam menyikapi penggiringan opini bahwa ACT tersangkut teroris hingga dilakukan pemblokiran rekening. "Membentuk dahulu opini publik melalui media bahwa seakan-akan pihak yang dituduhkan itu bersalah, sementara fakta masih belum cukup kuat. Ini sangat berbahaya," ujarnya. 

Menurut Algooth, jika ACT memang tersangkut dengan masalah terorisme, lembaga negara terkait sudah seharusnya dapat sejak lama mendeteksi. 

Mengaitkan ACT dengan persoalan terorisme tidak profesional. Sebab, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah menyatakan donasi ACT tidak masuk dalam Daftar Terduga Terorisme atau Organisasi Terorisme (DTTOT). PPATK telah memiliki Pedoman Pelaksanaan Pemblokiran Secara Serta Merta Atas Dana Milik Orang atau korporasi yang identitasnya tercantum dalam DTTOT.

Hal ini merupakan Peraturan Bersama (Joint Regulation) antara Ketua Mahkamah Agung, Menlu, Kapolri, BNPT dan PPATK. 

Dia menuturkan bahwa seharusnya pemerintah mengomunikasikan secara jujur dan terbuka apakah benar adanya aliran dana teroris di ACT. 

"Jangan bermain opini dan melemparkan bola panas. Ini sangat berbahaya jika tidak cukup bukti maka hal ini akan merusak citra dan reputasi pemerintah," katanya.

Sebelumnya, PPATK menyatakan adanya dugaan aliran dana yang masuk ke rekening ACT dari negara-negara berisiko tinggi yang terindikasi teroris. Laporan itu juga sudah dikirimkan kepada BNPT untuk ditindaklanjuti. (jlo/jpnn)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: